Minggu, 06 April 2008

Invasi Budaya Itu Bernama Modernisme : Faruq Al-Murtadlo


“The problem is that modernization seems to come in the package of globalization, which means Americanization and the invasion of the western way of life. So it’s viewed more as a cultural invasion.”

(Dr. Barbara Von Schlegell, Asisten professor Islamic studies dari universitas Phenneselvania di Philadelphia )


Gelombang modernisasi yang di hembuskan negara–negara maju khususnya Amerika Serikat (Barat-sekuler), selalu menimbulkan permasalah baru terhadap negara Dunia Ketiga.
Negara-negara di Amerika Latin misalnya, setelah Perang Dunia II, perekonomian negara-negara ini kacau. Sehingga kemudian negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar dan kelas buruh tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin1.
Demikianlah, modernisasi di satu sisi telah menjadikan peradaban Amerika (barat-sekuler) maju dengan pesatnya, akan tetapi di sisi lain modernisasi telah melahirkan berbagai penderitaan yang sangat serius bahkan belum pernah dialami oleh manusia sebelumnya. Keadaan ini, meminjam istilah Prof. Nugroho Notosusanto (1982) pada pidato Dies Natalisnya di Unversitas Indonesia, disebut sebagai Agony of modernization (azab sengsara karena modernisasi).
Semakin meningkatnya angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, pembunuhan, judi, penyalahgunaan narkotik, minuman keras, kenakalan remaja, bunuh diri, sampai gejala–gejala psikosis dan neurosis merupakan indikasi dari adanya the agony of modernization ini. Ditambah lagi dengan adanya kesenjangan social dan ekonomi di masyarakat yang semakin hari semakin menganga.
Kemiskinan seolah tidak mau ketinggalan dia telah menjadi persoalan serius di era modern ini. Pada tahun 1999 data kemiskinan yang tercatat diseluruh dunia sebanyak 1,214 miliar orang. 78% anak-anak balita kekurangan gizi. 11.000 anak perhari mati kelaparan. 200 juta anak perhari menderita kekurangan gizi, protein dan kalori. Lebih dari 800 juta anak kelaparan dan 70% diantara mereka adalah wanita dan anak-anak2 Moral pun sedang berada pada titik nadir. perilaku homoseks yang sudah dikecam manusia sejak ratusan tahun, saat ini mulai dilegalkan. Penderita penyakit AIDS, sebagai akibat dari adanya hubungan seks bebas, pemakaian jarum suntik narkoba dan berbagai bentuk kemaksiayan lainnya, tidak menunjukan tanda-tanda penurunan. Alih – alih diperingati setiap tahun, penderita AIDS malah terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 saja data terbaru PBB menyebutkan sudah sekitar 40 juta manusia didunia terjangkit penyakit AIDS. Dan lebih dari 20 juta orang hingga kini telah tewas akibat penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh ini. Diperkirakan bahwa sekitar 5,2 juta orang penderita AIDS adalah anak-anak dan setiap harinya 14.000 orang terinveksi virus HIV.3
Sedemikian “hebatkah” modernisasi mengakibatkan the agony pada masyarakat dunia saat ini?. Jika demikian halnya, seberapa besar peranannya, apa akar masalahnya serta bagaimana solusinya Itulah pertanyaan yang insya Alloh akan diuraikan secara sederhana dalam tulisan ini.
Modernisasi merupakan suatu usaha untuk menyebarkan modernisme. Modernisme yang dalam bahasa Arab sepadan dengan kata Al-‘Ashraniyyah merupakan kata bentukan dari bahasa Inggris (modernism). Dengan demikian, Untuk memahami modernisasi tampaknya akan sangat bijak kita merujuk kepada kata asalnya yaitu bahasa Inggris.
Kata “modern” sering dinisbatkan pada segala sesuatu–meliputi cara, informasi, konsep, gaya, dan lain lain–yang ada pada masa kekinian, up to date, dan tidak kuno4. Adapun secara historis “modern” merupakan sebutan bagi periode setelah abad pertengahan.5

Sedangkan term “modernisme” setidaknya memiliki dua dimensi, diantaranya dimensi keagamaan (katolik) dan dimensi sosio–politis. Dalam dimensi keagamaan (katolik), “modernisme” dipandang sebagai suatu doktrin yang mengkombinasikan tradisi katolik dengan beberapa filsafat modern tertentu, terutama sebuah doktrin dimana agama (kepercayaan) dipandang hanya memilki makna simblik6. Adapun dimensi sosio–politis, modernisme dipahami sebagai term yang diaplikasikan pada hampir semua gerakan liberal, yang berlawanan dengan penafsiran bibel yang ortodox. 7

Dengan demikian modernisme dapat dipahami sebagai sebuah paham yang menantang dominasi dogmatis yang absolut dalam hal cara, informasi, konsep, gaya, dan sebagainya serta mengalihkannya pada dominasi nilai-nilai provan yang liberal.

Sejarah munculnya term modernisme

Pada awalnya modernisme merupakan suatu term yang digunakan dalam dunia seni. Dalam sebuah essaynya What is Art, What is an Artist?, Christopher L. C. E. Witcombe (1997) mencatat bahwa term “modern” pernah digunakan pada tahun 1437 dalam tulisannya Cennino Cennini “the Craftsman’s Handbook” yang diterjemahkan dari II Libro dell’Arte. Disana dia menjelaskan bahwa Giotto telah membuat lukisan “modern”. Begitu juga pada abad ke-16 Giorgio Vasari menyebut kesenian pada masanya sebagai “modern”. Lebih jauh, Witcombe mencatat bahwa antara tahun 1860–1970–an merupakan periode seni modern. Pada waktu itu term ini dipakai untuk melukiskan gaya dan ideology hasil seni selama periode tersebut. Dengan kata lain, “modernisme” bisa jadi sebagai sebuah gagasan yang menunjukan pada filsafat kesenian modern8.
Selanjutnya, Witcombe mengatakan bahwa “bagi banyak ahli sejarah (tapi bukan ahli sejarah kesenian ), periode modern, sebenarnya dimulai pada saat Renaissance” (for the historians, the modern period actually begins with the Renaissance). Yakni saat berakhirnya abad pertengahan di Eropa9.
Hal itu berarti fase modern–bagi ahli sejarah–dimulai pada sekitar abad ke-1410 dimana pada waktu itu dominasi gereja–sebagai representasi agama–mulai termarginalkan dari pengurusan keduniawian. pada masa itulah, ide humanisme–sekuler, yang terlahir dari filsafat deisme, mulai diterima di masyarakat barat. Dengan jargon “manusai adalah pokok segala sesuatu” (the man is the matter all things) telah memberikan pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ide ini disatu sisi telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk terlepas dari kungkungan hegemoni gereja–despotis waktu itu yang dianggap menumpulkan akal masyarakat barat, Namun disisi lain ide ini ternyata menjadikan manusia terlalu “optimis” pada kemampuan dirinya untuk menentukan baik-jahat, benar-salah sampai menentukan mana yang berguna dan mana yang tidak berguna segala sesuatu.11
Lalu apa yang menjadi standarisasi kebenaran?. Dalam hal ini, Witcombe kembali mengatakan bahwa “para humanis meyakini akal sebagai prinsip panduan yang paling unggul dalam menuntun urusan kemanusiaan” (the humanist belief in reason as the supreme guiding principle in the affairs of humankind). Maka dari itu tidak heran kalau pemikir yang open-minded pada abad ke-18 meyakini bahwa segala sesuatu dapat ditaklukan dengan akal12. Ditambah lagi dengan di runtuhkannya konsep geosentris yang diemban gereja oleh konsep heliosentris yang dikenalkan oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1643) dan Isac Newton (1642-1727) pada abad 17 dan awal abad 18 – yang dianggap sebagai babak revolusi sains, telah mengakibatkan semakin bertambahnya sikap skeptis masyarakat barat terhadap doktrin gereja.
Kemenangan sains atas gereja dengan akalnya menjadikan masyarakat barat waktu itu berani menjadikan metode berfikirnya13 sebagai asas dalam memandang bidang–bidang kehidupan lainnya, termasuk terhadap budaya, sejarah, seni sampai masalah-masalah dibidang social dan politik, sebab mereka percaya pada supremasi akal dan kesempurnaan manusia untuk menentukan hal-hal tersebut. Cukuplah kedua hal ini menjadi alasan manusia waktu itu bersikap pongah terhadap aturan dan nilai agama (gereja).

Mereka beranggapan bahwa akal akan membebaskan manusia dari belenggu institusi yang korup semacam gereja dan kerajaan yang terpedaya oleh pemikiran tradisional dan ide-ide kuno telah memaksa manusia untuk takluk pada kebodohan dan ketahayulan14 Yang celakanya lagi, dikemudian hari paradaigma semacam ini di lekatkan pula pada agama lain, termasuk Islam yang belum tentu memilki sejarah kelam seperti halnya gereja waktu itu.
Kebenaran pun menjadi bias adanya, sebab didasarkan pada sesuatu yang tidak absolut, sesuatu yang hanya bisa menghasilkan kebenaran relatif, itulah akal manusia. Jargon-jargon “ the truth shall set you free” (kebenaran itu akan membebaskanmu) cukup laku pada saat itu, Mafhum mukholafah (pemahaman kebalikan) nya, sesuatu yang tidak membebaskan bukanlah kebenaran.
Pada mulanya mereka menginginkan terbebas dari nilai dan aturan gereja akan tetapi disadari atau tidak mereka telah terjebak pada hegemoni akal yang senantiasa menurutkan hawa nafsunya. Jadilah hawa nafsu sebagai pengganti “tuhan” gereja. Karena itulah modernisme sudah menjadi hantu yang menakutkan bagi gereja. Disinilah kita dapat memahami ucapan Daniel Bell yang mengatakan bahwa “modernisme sebagai gerakan budaya akan mendepak agama dan mengalihkan pusat otoritas dari yang suci pada yang provan”15. sehingga Paus Pius X pada gereja katolik Roma harus “menfatwakan” bahwa modernisme merupakan sesuatu hal yang bid’ah (heresy), dengan dikeluarkannya ensiklik pascendi dominici gregis pada tahun 190716. Dia menganggap bahwa modernisme sebagai paham yang menegasikan keimanan (Kristen)17. Namun walaupun demikian, paus sendiri tidak mampu membendung arus modernisme yang sejak beberapa abad sebelumnya sudah demikian derasnya berlangsung, sehingga agama (katolik) dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman (modern), yang semakin familiar dengan humanisme – secular. Bahkan lebih jauh para teolog Kristen mulai menyatakan dengan penuh rasa kemenangan, bahwa sekularisasi mempunyai akar-akarnya dalam kepercayaan kitab injil dan merupakan buah ajaran injil18.

Upaya misionaris menyebarkan modernisme
Dengan agama Kristen yang sudah “termodernkan”, sekitar abad ke-18 dan 19 para misionaris (penyebar agama Kristen) melanjutkan para pendahulunya dengan menyebarkan Kristen “versi baru” ke seluruh dunia, terutama ke dunia Islam yang dengan khilafahnya saat itu masih memiliki pengaruh di dunia, walaupun pada waktu itu, sekitar tahun 1830-an, secara internal, khilafah mulai mengadopsi peraturan perundangan dan hokum eropa sebagai implikasi negative kurang diperhatikannya penguasaaan bahasa Arab, padahal jelas bahasa tersebut sangat urgen untuk memahami Islam19.
Berbeda dengan motivasi para misionaris pada abad pra modern yang masih “murni” untuk menyebarkan akidah Kristen, para misionaris “Kristen modern” ini sudah berfungsi sebagai agen imperialis. Alih-alih mengajarkan ajaran Kristen, mereka malah mempropagandakan kebudayaan Barat dan nasionalisme. Metode ini banyak dilakukan oleh misionaris asal Amerika. Berdasarkan pengakuan sebagian penulis Barat, seperti George Antonius, benih-benih pemikiran pertama Barat seperti penolakan agama, liberalisme, dan sekularisme secara terus-menerus ditanamkan oleh misionaris Kristen di negeri-negeri kaum musmlimin. Tujuan mereka adalah untuk memperlemah keyakinan kaum muslimin di kawasan itu terhadap agama Islam dan mempersiapkan kondisi bagi terlaksananya imperialisme di sana. Para misionaris, dengan mendirikan sekolah-sekolah, pusat keilmuan, dan universitas, menyebarkan dasar-dasar pemikiran Barat dan dengan jalan ini mereka mempromosikan peradaban Barat di dunia Islam20.
Universitas St. Joseph di Suriah dan Universitas Amerika di Beirut dan Libanon (yang dipimpin oleh seorang misionaris Daniel Bills), adalah beberapa contoh dari pusat keilmuan yang didirikan para misionaris. Tentang aktivitas dua universitas itu, J.B. Gibb dalam bukunya “Suriah, Libanon, dan Jordania” menulis, “Kedua universitas ini membuka jalan bagi masuknya pemikiran Barat ke Suriah, Libanon, dan Jordania dan unsur pemikiran baru yang terpenting yang mereka sebarkan adalah nasionalisme.” Universitas St. Joseph didirikan pada tahun 1874 Masehi, sementara Universitas Amerika di Beirut didirikan tahun 1866. Universitas St. Joseph menekankan pada pengkristenan kaum muslimin dan penyebaran kebudayaan Barat di Suriah. Sementara Universitas Amerika di Beirut yang nama awalnya adalah Sekolah Protestan Suriah, berusaha menyampaikan pahamnya dengan metode westernisasi dan liberalisasi. Universitas ini menerapkan rencananya dengan jalan menyebarluaskan materialisme, nasionalisme, dan liberalisme. Oleh karena itu, Universitas Amerika di Beirut dengan tujuan memecah-belah dunia Islam dan kaum muslimin, mempropagandakan nasionalisme Arab dan anti-Turki21. Sehingga di kemudian hari ide-ide tersebut mampu menggerakan sebagian kaum muslimin waktu itu menggulung imperium besar Islam (kekhilafahan Turki Ustmani) pada bulan Maret tahun 1924.
Akibat pengajaran sistem pendidikan Barat yang dilakukan oleh kedua universitas ini dan universitas serupa lainnya yang didirikan di berbagai negeri Islam, terjadi gelombang penjajahan budaya dan penindasan budaya pribumi dan juga masuknya ideologi-ideologi dan pendidikan Barat. Namun, bidang industrialisasi dan kemajuan ekonomi dan ilmu-teknologi sama sekali tidak dikembangkan di negara-negara Islam. Joseph Szyliowicz, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Modernisasi di Timur Tengah mengakui bahwa program-program kedua universitas ini lebih banyak bermanfaat bagi Perancis dan Amerika daripada memenuhi kebutuhan masyarakat Timur Tengah.
Pengakuan ini menjelaskan jatidiri dan tujuan yayasan pendidikan yang didirikan oleh misionaris. Yayasan-yayasan itu jelas-jelas merupakan alat propaganda dan westernisasi yang bertujuan untuk mengamankan posisi kaum imperialis. Dengan memperhatikan catatan sejarah, masuknya misionaris ke negeri-negeri Islam biasanya diikuti oleh para pedagang Eropa.
Menyusul setelah itu, datang pula tentara-tentara Inggris, Perancis, Portugis, Belgia, dan Rusia. Setelah pemerintahan imperialis berdiri, para penjajah itu amat melindungi gerakan misionaris dengan tujuan agar penyebaran kebudayaan Barat terus berlanjut. Perlindungan ini tampak dalam berbagai bentuk materil dan moril. Contohnya, dalam masalah pendidikan, pemerintah imperialis memberikan dana yang cukup bagi pendirian berbagai yayasan oleh misionaris. Di samping itu, sistem pendidikan serta tanah air yang mereka kuasai, secara terbatas diserahkan kepada misionaris untuk dikelola22.

Perkembangan modernisme

Sejak saat itu–setelah abad ke-14–modernisme mulai menjadi “kata sakti” yang merambah seluruh aspek kehidupan.
Bidang filsafat, bidang politik, social budaya, ekonomi, bahkan dalam bidang kajian agama hampir tidak bisa terlepas dari term ini. Yang menarik dari penomena ini adalah hampir semua aspek kehidupan, yang telah “disusupi” oleh modernisme ini, dibangun berdasarkan pada paradigma yang humanistic sekularistik.

Dalam bidang filsafat misalnya, nama Descartes(1596-1650)dengan metode cogito – nya yang terkenal itu, telah tercatat sebagai tokoh pertama pada filsafat modern. Adapun ciri-ciri filsafatnya– yang mana memilki persamaan dengan filsafat modern yang lain – diantaranya, menghidupkan kembali rasionalisme Yunani, individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.23 Dalam bidang sosial, modernisme telah mengilhami Jean Jacques Rousseau pada tahun 1763 untuk mendeklarasikan hak kebebasan dan persamaan untuk semua manusia. Sehingga mendorong revolusi berdarah di Perancis pada tahun 1789 yang mengusung liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, persaudaraan) Dalam bidang ekonomi, dan ini mungkin yang terpenting adalah lahirnya konsep kapitalisme yang diprakarsai oleh Adam Smith. Dalam bidang kajian agama, muncul misalnya istilah Islam modern, walaupun Islam tidak mengenal istilah tersebut. Akan tetapi paling tidak yang menamakan dirinya Islam modern itu adalah Islam yang bereorientasi pada peradaban Barat24 dengan memandang demokrasi, sekulerisme dan liberalisme sebagai suatu hal yang patut diperjuangkan, yang mana ketiga paham ini masih ada kerkaitan dengan zaman ketika otoritas gereja menjadi nihil.
Mungkin karena term ini lahir dari dunia seni, “modern” seringkali tampak secara jelas dalam hal fashion (mode). T-shirt dan jeans ketat yang vulgar dan mempertontonkan aurat menjadi “seragam wajib” bagi sebagian besar remaja putri sekarang termasuk yang mengaku muslimah. Alasannya pun bisa ditebak, “modern”. Padahal secara normative mereka telah diwajibkan untuk mengulurkan jilbabnya sehingga aurat mereka terjaga. 25.
Apakah T-shirt dan jeans ketat nyaman dan sehat ? ternyata tidak. Bahkan sebuah penelitian pernah menyebutkan bahwa pakaian ketat itu akan menyebabkan iritasi yang cukup berbahaya. Tindakan mereka tiada lain karena sebagian artis yang dijadikan idola mereka telah mempopulerkannya. Mungkin keadaan ini yang dinamakan dengan “problem identitas26 muslim”, disatu pihak mereka mengaku muslim akan tetapi mereka tidak mau terikat pada aturan-aturan Islam.
Dengan pola pikir dan pola sikap yang sudah ter-sekulerkan, tata nilai menjadi kacau karena ditentukan berdasarkan konsesnsus manusia-mansuia yang terlepas dari “hegemoni” nilai transenden. Aktivitas pen-taqdisan (memahasucikan) kepada yang seharusnya semakin teralihkan pada materi. Kata-kata surga dan neraka lebih dipandang sebagai luapan emosi semata. Inilah hasil dari pendidikan budaya pop sebagai “debu-debu dari api modernisasi”. Dengan dukungan media dan industri perfilman canggih yang dimiliki Barat - sekuler, mereka dapat jauh lebih efektif mendidik para remaja tadi dengan ide-ide barat –sekuler dari pada pelajaran agama yang diajarkan disekolah yang hanya dua jam dalam seminggu itu.
Pendidikan budaya pop bisa dengan mudah memasuki ruang-ruang sempit dikamar tidur. Tanpa harus susah-susah pergi ke tempat pendidikan formal yang SPP-nya semakin menggila saja, seseorang cukup dengan memijit tombol remot TV – nya, lalu dengan segera dia akan mendapatkan pendidikan yang sangat murah, dengan “mata pelajaran” berupa hedonisme, konsumerisme, materialisme, permisivisme dan tidak pula ketinggalan ide-ide yang lahir dari aqidah sekularisme seperti demokrasi, HAM, dan sebaginya.
Dengan “nilai A+“ untuk mata pelajaran konsumerisme, percakapan sehari-hari jadi berubah topik. Dari tadinya menanyakan hal-hal yang bernilai dan bersifat idealis seperti “Akhi bagaimana kondisi iman antum hari ini ?” atau pertanyaan “ Akhi bagaimana agenda dakwah kita kedepan?”. Berubah menjadi pertanyaan yang kurang bernilai dan pragmatis seperti “sepatu apa yang udah elo beli kemaren?” atau “merk HP apa yang baru keluar?”
Generasi “korban iklan” pun bermunculan. Dengan memilih sepatu yang berlabelkan “made in America” misalnya, mereka merasa telah menjadi bagian dari masyarakat modern yang bergengsi, padahal produk tersebut tidak ada bedanya dengan yang berlabelkan “made in Cibaduyut”,misalnya (tempat pengrajin sepatu terkenal di Bandung). Apa yang membedakannya? Tidak ada, selain pola pikir yang telah ter–westernized atau ter-Americanized-kan. Sehingga kemudian hasil produksi dalam negeri kurang diminati sedangkan produk luar lebih sering dijadikan patokan.

Pada saat yang sama para artis telah menjadi mesin pendulang uang yang sangat menggiurkan. Media cukup dengan “menipu” para penonton TV itu dengan menggunakan jasa artist untuk membeli suatu product, maka dengan mudah para pelaku industri itu dapat memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Bahkan lebih mudah dari pada mengumpulkan zakat yang dilakukan oleh BAZ – BAZ yang ada saat ini.
Permintaan konsumen pun melonjak, para pekerja dipabrik dihadapkan pada dua pilihan, rela dipaksa “bekerja bagai kuda” atau tergilas oleh roda industrialisasi yang menggantikan manusia dengan mesin, dalam memenuhi sikap konsumtif masyarakat yang sulit terpenuhi. Sehingga para pekerja ini tidak ubahnya seperti robot yang telah diprogram untuk hanya bekerja, makan dan tidur.
Keadaan tersebut sama–sama mengakibatkan dehumanisasi yang massif pada kehidupan modern ini. Seolah tidak mau puas dengan keuntungan yang sudah ada, Kebijakan pun dibuat supaya para pemodal (kapitalis) merasa nyaman dalam melakukan hegemoninya. Misalnya dengan adanya rencana revisi UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan yang menuai protes besar-besaran dari para pekerja tempo lalu.
Dengan perbuatan amoral dan permisiv para artist “idol”, seperti aksi telanjangnya Anjasmara, aksi homoseksnya Tora Sudiro dalam salah satu filmnya, kasus perzinahan Ariel–vocalis Peterpan–atau aksi bancinya Aming, seolah-olah memberi pesan “it’s modern life stile, follow us or be behind ”

Di balik serbuan modernisme

Sebagai sebuah negara ideologis (ideologi kapitalis), barat–sekuler memiliki metode untuk menyebarkan pemikiran–pemikirannya yang terpancar dari asas (akidah) ideologinya itu. Pada saat Islam–sebagai sebuah ideologi yang teraktualisasi dalam sebuah negara menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan dakwah dan jihad27, maka, barat–sekuler menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu dengan metode imperialisme (al-isti’mar)28. pada wilayah inilah modernisasi–sebagai suatu upaya menyebarkan modernisme–bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk penjajahan kebudayaan (al-isti’mar ats-tsaqafy / cultural invasion).

Dengan term Modernisme inilah barat-sekuler melakukan suatu perubahan social (social engineering) menuju the new world order. Dengan cara berusaha mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern29. Tentu yang menjadi “jalan pelicinnya” adalah modernisme.
Permasalahannya adalah, Barat-sekuler beranggapan bahwa tipe masyarakat modern itu merupakan tipe masyarakat barat yang sekuler itu. Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih “terhegemoni” oleh nilai-nilai agama yang bersifat transenden dan dogmatis.
Dengan kata lain, proses modernisasi itu tiada lain adalah proses sekularisasi. Dengan demikian dapat dipahami disini bahwa term modernisme lebih pada suatu nilai yang hegemonic dari pada suatu fakta social yang harus dikagumi. Sebagai mana yang disadari sendiri oleh Barbara Von Schlegell ketika mengomentari serangan yang menghancurkan WTC beberapa tahun silam, Beliau mengatakan :
“Permasalahannya adalah bahwa modernisasi itu rupa-rupanya datang sebagai bungkus globalisasi, dalam arti Amerikanisasi dan invasi pandangan hidup barat. Jadi modernisasi itu terlihat sebagai sebuah invasi budaya ”30
Jelasnya, modernisme merupakan term yang dipaksakan oleh negara adikuasa terhadap dunia ketiga–yang pada umumnya negeri-negeri muslim–untuk menerima pemikiran-pemikiran yang semuanya berlandaskan kepada ide pemisahan agama dari kehidupan (baca: sekularisme) yang secara diametral memilki perbedaan dengan aqidah islam. Tujuannya tiada lain adalah tetapnya barat–sekuler pada puncak piramida peradaban yang saat ini menghegemoni dunia. Hal ini wajar, sebab proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni pada semua bidang diantaranya dalam bidang bisnis dan ekonomi31. Disinilah letak pentingnya modernisme terhadap globalisasi, yang mana seperti yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal Anjum dalam sebuah tulisannya pernah mengungkapkan “bagaimanapun dimensi ekonomi telah memainkan peranan yang utama dalam proses globalisasi” (however, the economic dimension has been playing a central role in the process of globalization)32

Permasalahannya adalah, seperti yang diungkapkan oleh Revrisond Baswir dalam suatu tulisannya, beliau menyatakan bahwa “globalisasi tidak bisa dilepaskan dari neoliberalisme yang nota bene merupakan ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya (para kapitalis)”33. Maka hal yang wajar kalau Mahatir Muhammad di akhir kuliah umum di hotel Shangrilla, Jakarta pernah menyatakan bahwa “globalisasi merupakan suatu bentuk penjajahan baru, karena akan menjadikan negara kaya semakin kaya dan negara miskin semakin miskin”34. sebagaimana hal ini terungkap dari laporan UNDP tahun 1999, 20% orang terkaya dari penduduk dunia mengkonsumsi 86% barang dan jasa dunia. Sebaliknya, 20% penduduk termiskin hanya mendapatkan 1% lebih sedikit barang dan jasa dunia35
Globalisasi merupakan sebuah upaya yang sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama upaya pengerdilan peran negara dan memperbesar peran pasar, hal ini akan memudahkan pengintegrasian negara-negara miskin tersebut kedalam hegemoni para pemodal negara-negara kaya. Sehingga, privatisasi atau swastanisasi kebutuhan rakyat merupakan suatu hal yang niscaya.

Ketika keadaannya seperti itu, sabda prophetic yang berbunyi “al-imamu ra’in wa huwa masuulun ‘an ra’iyatihi”36 Tidak berlaku lagi di sini, sebab peran negara bukan lagi sebagai “penguasa” yang melindungi hak-hak rakyat akan tetapi, negara sudah menjadi “pengusaha” yang memperhitungkan untung-rugi dalam pengelolaan rakyatnya bahkan mengalihkan fungsi perlindungannya terhadap kepentingan para pemodal negara-negara kaya.

Pandangan Islam terhadap modernisme
Pada dasarnya Islam tidak menolak secara mutlak unsur-unsur peradaban asing yang berasal dari luar Islam. Bahkan persinggungan Islam sejak kelahirannya di Mekkah dengan peradaban Persia dan peradaban Romawi37 merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Pertanyaanya adalah dalam bentuk apa sesuatu–sebagai hasil peradaban– yang asing tersebut bisa di terima atau ditolak ?.
Dalam hal ini An-Nabhani (1953) sangat tepat membagi hasil peradaban menjadi dua, yaitu hadlarah dan madaniyyah. Hadlarah adalah sekumpulan persepsi tentang kehidupan (majmu al-mafahim ‘anil hayat). Sedangkan madaniyyah merupakan bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan (al-asykaalu al-madiyyatu lil asyyaai al-mahsuusati allatii tusta’malu fi syu uuni al-hayaati)38. Dari pemilahan tersebut bisa terlihat hal-hal apa saja yang terkategori tsawabit (yang tetap) dan hal-hal apa saja yang terkategori mutaghayyirot (yang berubah) dalam Islam.

Dalam kaitannya dengan produk peradaban berupa madaniyyah yang tidak berhubungan dengan hadlarah–seperti sains dan teknologi–tampaknya sabda prophetic “antum a’lamu biamri dunyakum”39 sangat relevan. Dalam hal ini–dengan sifat keuniversalannya–kaum muslimin sudah cukup arif memanfaatkan produk peradaban dari manapun, termasuk yang dari barat.40

Akan tetapi hal ini berbeda halnya dengan hadlarah barat–yang berupa pandangan hidup barat yang sekularistik. Tidak ada alasan disana bagi kaum muslimin untuk menerima baik sebagian maupun secara keseluruhan pandangan hidup yang berasal dari luar Islam. Inilah maksud dari sabda prophetic “man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun”41

Pada titik inilah Islam menolak modernisme sebagai sebuah gerbang sekaligus jembatan untuk menyebarkan hadlarah barat. sebab pada faktanya modernisme berpangkal dari paradigma yang sekularistik yang nota bene bertolak belakang secara asasi dengan Islam. Penolakan ini pun bukan berarti Islam menghendaki dominasi gereja pada abad pertengahan (sebelum era modern) pada masyarakat Barat waktu itu. Sebab duktum ilahiyyah yang berbunyi “inna ad-diina ‘indallahi al-Islam”42 cukup jelas menunjukan absurditas ad-din selain Islam.
.
Kebangkitan Islam menantang modernisme

Modernisme, sebagai sebuah serangan yang digerakan oleh sebuah negara ideologis, maka tidak ada pilkihan lain selain harus dilawan dengan negara yang ideologis pula, itulah Daulah Khilafah Islamiyyah. Dengan fungsinya sebagai al-haaris (penjaga)43–istilah yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali–Daulah Khilafah akan melindungi rakyatnya bukan saja dari serangan fisik, juga akan melindungi rakyatnya dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Bahkan lebih dari itu, Daulah Khilafah akan menjadi trend setter bagi peradaban dunia. Sebagaimana yang pernah terjadi dimasa Daulah Khilafah masih ada.

Dimasa keemasan Islam di Spanyol misalnya, Thomas W Arnold mengatakan bahwa “diantara tahun 711 sampai tahun 1502, kaum muslimin Spanyol telah mengisi salah satu lembaran sejarah paling gemilang di Eropa pada masa abad pertengahan. Pengaruhnya menembus melalui Provence ke negara-negara lain di Eropa, melahirkan kesusasteraan dan kebudayaan baru, dan dari padanyalah para cerdik cendikiawan Eropa menerima warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani, yang kemudian mendorong kebangunan moral pada masa Renaissance”44.

Islam pun tidak bermusuhan dengan sains dan teknologi sebagaimana halnya gereja waktu dulu sebab pada faktanya ketika Islam “manggung” dipentas dunia, sains dan teknologi berkembang sangat pesat. Nama Al-Fajari yang membuat astrolabe (pengukur tinggi dan jarak-jarak bintang) dan Nasir al-Din Tusi (w.1274 M) – sang pembaharu ilmu bintang–yang mendirikan observatorium di Maragaha, sebuah tempat terletak di Asia Kecil45 adalah dua diantara sekian ratus orang ilmuan muslim yang lahir pada rentang waktu 1400 tahun itu (peradaban Islam).

Akhirnya setelah kita ketahui term modernisme yang ternyata dia sebagai sarana untuk menyebarkan ide yang sekularistik, serta sikap latah kita dalam mengikutinya, maka ada baiknya kita merenungkan pertanyaan Wheeler berikut “How could we be so stupid for so long?”46

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Jangan remehkan islam indonesia!!! Kita pasti bisa bangkit kembali

Coba lihat di luar sana, yang miskin orang-orang apa? Islam!

Yang pencuri, maling ayam, orang-orang apa? Islam!

Yang bodoh orang-orang apa? Islam!

(Pertanyaan dan pernyataan guru Irene Handono ; Muallaf/Ustadzah/mantan biarawati)

“Islam Indonesia hanya konsumer, bukan produser pemikiran”

(pernyataan salah seorang Dosen Universitas Indonesia/Lulusan Australia dalam suatu seminar Internasional)


Panas dada ini, gemetar tangan ini mendengar kalimat-kalimat yang sangat melecehkan, mendeskriditkan dan merendahkan agama yang sangat mulia ini, agama yang di anut oleh milyaran orang di dunia, agama yang tokoh sentralnya (Muhammad SAW) di tempatkan oleh Michael Hart pada posisi pertama 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia, jauh di atas Marx, Lenin dan 97 tokoh dunia lainnya.

Memang tidak bisa kita pungkiri, kualitas umat Islam Indonesia hari ini masih rendah, masih jauh dari pengimplementasian ajaran Islam yang pure. Masih banyak maling ayam, penipu, pemerkosa hingga koruptor yang jika kita lihat KTPnya beragama Islam, dan jika kita mengunjungi rumahnya, maka akan kita kita dapati beberapa kaligrafi/tulisan-tulisan khas Islam lainnya yang terpampang di tembok ataupun pintu. Tapi apakah layak jika Islam sebagai sebuah agama dilecehkan, diremehkan, dan di caci maki hanya karena oknum pemeluknya menimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya?????

Orang Indonesia banyak yang koruptor! orang Indonesia banyak yang penipu! Apakah yang salah Indonesianya? Apakah UU/Pancasila mengajarkan demikian? Jelas bukan Indonesianya yang salah! Begitu juga dengan Islam, oknum-oknum umat Islam yang menyimpang hari ini dan menjadi sampah masyarakat timbul bukan karena ajaran Islamnya, tapi karena pribadi-pribadi manusianya yang kurang menyelami khasanah keilmuan Islam dan mengimplementasikan inti ajarannya secara kaffah.

Orang Islam Indonesia hari ini dan Dulu

Salah satu penyebab kebobrokan Umat Islam Indonesia hari ini adalah karena ketidakmampuan diri dalam mengendalikan nafsu yang seringkali menghampiri. Waktu kita yang 24 jam ini, lebih senang kita gunakan untuk nongkrong-nongkrong, membicarakan mode-mode pakaian, membicarakan keburukan-keburukan orang tanpa menginstropeksi diri sendiri, membicarakan HP terbaru, modifikasi motor, dan sebagainya yang sering kali membuat kita melupakan Ibadah Shalat kita (Padahal waktu-waktu kehidupan kita, nanti harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah).

Uang kita yang 7500 rupiah lebih baik kita belikan rokok ketimbang mengeluarkannya untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan (padahal Allah menjanjikan balasan yang sangat besar ; lihat Q.S 2 : 261). Ketika di Tanya, “sudah pernah berkurban?” “Mana bisa, saya orang miskin, sayalah yang seharusnya menerima kurban” padahal uangnya setiap hari Rp 7.500 di alokasikan untuk membeli sebungkus rokok, yang jika di hitung dalam satu tahun uang sejumlah Rp 2.737.500 berubah menjadi asap, dan penyakit! (Rp 7500X365 hari = 2.737.500). Tanyakan pada penjual hewan kurban, dapat berapa ekor kambing???

Jika kita selalu seperti ini, bagaimana agama ini mau bangkit lagi? Bagaimana citra Islam Indonesia mau meningkat? Padahal dari tanah Indonesialah orang tua kita makan, dan sari-sari makanan itulah yang kemudian menjadi spermatozoa hingga lahirlah kita pemuda-pemudi Islam Indonesia. Dahulu negeri ini banyak memunculkan ulama-ulama yang kemampuan serta kedalaman agamanya di akui dunia. Sebut saja misalnya, K.H Nawawi Albantani (Banten) pengarang kitab tauhid Nur Al Dhalam yang sampai hari ini banyak dijadikan rujukan ilmiah, beliau juga mendapatkan gelar Sayid Ulama Al Hijaz dari ulama-ulama makkah dan madinah. K.H Ihsan (Jampes, Kediri) Penulis kitab Siraj Al Talibin yang sampai hari ini dijadikan buku wajib mahasiswa Post-Graduate di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Kita juga memiliki K.H Bisri Mustofa (Rembang) dengan puluhan karyanya, K.H Misbah Zain (Bangilan), K.H Ahmad Subki Masyhadi (pekalongan) dan K.H Asrofi (Wonosari) yang terkenal dengan kara tafsir Qur’an berbahasa jawanya. Kita memiliki K.H Ahmad (Sukabumi), K.H Ahmad Khatib dari Sumatera yang pernah dipercaya menjadi Syekh dan imam Masjidil haram, K.H Mahfuzh pengarang kitab Mauhibah Dzawai Al Fadhl yang di cetak di mesir tahun 1897 M, kita memiliki Prof.DR Hamka dengan tafsir Al Azharnya dan banyak lagi. Tapi hari ini, lihat kondisi sekitar kita, moralitas remaja hari ini, kelakuan kita hari ini, kemudian renungkan, mungkinkah akan muncul kembali sosok-sosok ulama terkemuka dunia dari Indonesia? Atau yang paling simple, mungkinkah kita, keluarga, dan kawan-kawan kita akan dapat merasakan kenikamatan syurga-Nya? Renungkanlah!! Kemungkinan memang selalu ada, namun pasti akan memakan waktu yang lama jika kita tidak merubah gaya hidup kita hari ini, kepada gaya hidup yang Islami dan sesuai dengan Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Maka mulai hari ini, wahai pemuda-pemudi Islam, Putera-puteri Nahdiyyin, Putera-puteri Muhammadiyah, aktifis-aktifis Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan berbagai gerakan Islam lainnya. Mari rubah diri kita kea rah yang lebih baik lagi, kea rah yang di ridhoi oleh Allah SWT. Ramaikan kembali surau-surau kita, teriakkan kembali pekikan-pekikan takbir, ramaikan kembali seluruh tempat aktifitas kita dengan tilawah Al Qur’an, ajak kawan-kawan kita, sahabat, dan saudara-saudara kita ke majelis-majelis ta’lim, perkuat ukhuwah antar sesame, ubah materi-materi diskusi sia-sia kita dengan obeolan-obrolan yang penuh makna, hikmah dan menjaga diri kita dari api neraka. Lawan segala bentuk dan upaya pelecehan agama kita, bangkitan giroh (semangat) Islam kita dan sebarkan cahayanya pada semua (Islam is Rahmatan lil ‘alamin)

“ Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (Q.S Muhammad ; 7)